Rabu, 25 April 2012

Cerpen - Ketika Hati Mulai Berbicara



hahaha asli hanya iseng saja kawand ,,selamat membaca para penggemar cerpen...



Celotehanku pun terlontar ketika detik-detik berakhirnya pelajaran Bahasa Indonesia. “Waw presentasi makalah kelompok Heri keren banget yah..!!!” kata-kataku keluar diiringi tepuk tangan semua murid kelas XII Science lainnya.
Hari ini adalah hari ketiga masuknya seorang murid baru pindahan dari Bogor. Dialah Heri. Penampilannya yang cerdas ketika presentasi kelompok Studi kasus Bahasa Indonesia membuatnya mampu beradaptasi dengan kelas barunya, SMAN 10 Bandung. Semua murid bisa dekat dan lebih mengenal dirinya termasuk diriku, seorang murid perempuan yang memiliki jabatan sebagai Ketua murid.
“Hemm Farra!...” kata-kata itu keluar dari mulut Heri yang tiba-tiba menghampiri bangku kelasku.
“Yah ada apa?...”
“Pulang sekolah aku tunggu di taman belakang!..”
“Taman? Sekarang? Mau ap…”
Tetapi sebelum kuselesaikan ucapanku, dia meninggalkan bangku kelasku menuju bangkunya. Dan yang pasti dengan gaya cool-nya. Seribu Tanya tersimpan dalam pikiranku.
***
“Sebenarnya kamu mau apa sih??” ucapanku mengawali pembicaraan diantara kami.
“Aku butuh bantuan kamu” matanya yang tajam menatapku dengan serius sehingga kami saling bertatapan. Ada rasa kagum yang ingin kuucapkan padanya, kuakui dia itu tampan. Tapi segera kualihkan pandangan.
“Maksud kamu?”
“Aku harus jadi Ketua (dibaca KM) di kelas kita!”
“Apa? Jadi kamu nyuruh aku buat ngundurin diri sebagai KM? kamu sama sekali ga ngehargain aku Her…” serentak kulontarkan kata-kata itu dari mulutku, aku pun segera ingin pergi meninggalkannya meski hatiku sedikit menolak.”
“Tapi Far, plis bantu aku…” tangannya menarik tanganku hingga tubuhku hampir merapat dengannya. Hanya sekitar sepuluh centimeter jarak antara kedua wajah kami.
“Kamu…!! Plaakkk!!!” satu tamparan bersarang dipipi kanannya. Itulah hukuman yang berani macam-macam dengan diriku, FARRA! Kudorong tubuhnya dengan sekeras-kerasnya hingga akhirnya aku berhasil lari jauh dari jangkauan Heri, dan kurasa Heri telah meratapi kesalahannya sendiri, termenung dalam suasana semilir angin sore hari itu.
Malam harinya, dia menelpon dan meminta maaf atas semua kejadian tadi sore. Alasan dia memintaku untuk mundur menjadi KM karena dia sedang mengincar seorang perempuan yang sangat dicintainya namun agar dirinya diterima menjadi pacar dia harus memiliki status sebagai KM dikelasnya.
“Emang cewek itu siapa?” bantahku disela-sela pembicaraan kami.
“Aku ga bisa ngasih tau kamu, tapi aku mohon Far, aku mohon…”
Kata-kata itu, bujukan itu dan suaranya rasanya membuat hatiku luluh, menerbangkan amarahku untuk pergi jauh dan jauh.
“Aku mau ngundurin diri buat kamu…”
“Makasih Far, makasih. Aku janji aku akan jaga amanat ini”
Pembicaraan terputus.
***
            Keesokan harinya, aku meresmikan Heri sebagai KM baru di kelas XII Science 1. Dengan berat hati kuperkenalkan dia dengan rekan-rekanku di kelas lain dan pada guru-guru di sekolah. Aku tahu ini bukanlah keputusan yang benar tapi kenapa aku merasa tak tega terhadap dirinya meski dia pernah membuatku marah…
            Hari-hari banyak kuhabiskan waktu dengan dirinya karena ada beberapa hal yang harus kusampaikan jika menjadi seorang KM. Walaupun aku tidak lagi menjabat sebagai KM tapi tak jarang aku selalu membantu jika dia mengalami kesulitan. Susah senang kami lalui bersama. Aku merasa senang selalu bersamanya, aku merasa lengkaplah sudah hidupku dengan bersamanya. Dalam hati aku merasa ada getaran-getaran, ungkapan, entah itu apa namun semakin malu untuk aku katakana padanya. Aku …..
Malam hari di kamar Farra…
Diary…
Tahukah dirimu?
Aku merasa ada sesuatu yang membuatku bahagia, melepaskan semua penat dalam hati, membawa kasih bagi diri dan menjadi selimut dalam kalbu…
Heri….
Aku tak bisa menyembunyikan perasaan ini, perasaan yang muncul sejak aku mengenal dirimu… perasaan cinta… ya memang cinta…
Tapi aku takut…
Semakin aku tumbuhkan perasaan itu semakin pula kau harus pergi dariku…
Karena perempuan itu…
Tuhan bantu aku…
***
            Siang yang redup tanpa ada rasa panas menyelimuti dalam tubuh. Hari ini memang tak begitu panas maka seperti biasa sepulang sekolah aku mengajak Heri untuk pulang bersama. Tapi tak sengaja saat aku mencari dirinya, aku menemukan dia sedang berbincang serius dengan seseorang melalui ponselnya. Taman belakang, disitu tempatnya.
“Apa Put! Kamu bercanda kan, aku udah ngelakuin semua keinginan kamu…”
“Tapi Put aku sayang sama kamu”
“Put! Putri!...”
Pembicaraan selesai.
DEG !!... Putri, siapa Putri. Apakah dia???
            Saat itu aku pura-pura tidak mengetahui apapun yang terjadi. Saat kami pulang bersama, dia berusaha menutupi kesedihannya. Aku tahu hatimu sakit, sesakit hatiku saat kamu harus menjadi milik Putri.
            Berhari-hari semenjak terjadi peristiwa yang dialami Heri, dia tak kunjung sekolah. Aku khawatir dengan keadaannya karena tak ada keterangan dari keluarga Heri. Apa mungkin dia sakit tapi kenapa. Kuhubungi nomor ponselnya tapi tak kunjung aktif. Walaupun baru dua hari dia tak masuk rasanya seperti satu abad berpisah dengannya. Hingga kuputuskan sepulang sekolah aku akan ke rumahnya.
            Siang ini agak mendung tapi ini tidak menjadi penghalang bagiku untuk menemui Heri. Ketika sampai dirumahnya, aku malah tidak menemukan Heri karena dia sedang keluar.
“Maaf Non, mas Heri sejak tadi pergi keluar” ucap si Mbok, pembantu rumah Heri
“Memangnya kemana Mbok, terus sama siapa?” tanyaku dengan wajah heran
“Tadi sih katanya mau ke taman kota terus naik motor sama Nak Putri”
Apa Putri?. Jadi dia tidak sekolah hanya demi Putri. Aku pun menanyakan seluk beluk keluarga Heri pada si Mbok. Ternyata sejak dua bulan terakhir Heri hanya tinggal berdua dengan pembantunya karena orang tuanya sedang bekerja di luar kota. Dan seorang Putri, dia adalah teman dekat Heri sejak sekolah di Bogor. Hubungan Putri dengan keluarga Heri sangat dekat. Apa mungkin karena itu, Heri rela melakukan apa saja demi Putri. Segera ku pamit dan pergi menuju taman kota. Kupacu dengan cepat Vario biruku menuju tempat yang sangat indah itu. Dan ternyata aku memang melihat Heri bersama seorang perempuan. Postur tubuh perempuan itu tinggi hamper sejajar dengan Heri dan lebih tinggi dibanding aku, rambutnya panjang terurai dan dia sangat cantik. Kuperhatikan mereka sedang duduk berdua dikursi taman. Aku seperti seorang penjahat karena sku bersembunyi dibalik pohon besar hanya untuk memperhatikan obrolan mereka. Sayup-sayup terdengar suara Putri yang tampaknya sedang berdebat dengan Heri.
“Maafin aku Her, aku ga bisa berhubungan dengan jarak jauh..” terdengar suara lembut Putri bergema ditelingaku
“Tapi Put, aku pengen kita baikan lagi, tinggal satu semester kita akan lulus dan kita bisa kuliah sama-sama”
“Ga bisa Her, aku ga bisa nerima kamu. Maafin aku karena aku udah nyuruh-nyuruh kamu buat ngelakuin hal apapun demi aku, aku cuma pengen kamu sukses… tapi sekarang aku…..” Putri nampaknya tak ingin meneruskan kata-katanya lagi karena ada tetesan air yang mengalir dipipinya. Heri tampak sedih.
“Bilang sama aku Put, kenapa.. kenapa kamu tega sama aku?” kedua tangan Heri memegang erat pundak Putri dengan tatapan serius diselubungi berbagai pertanyaan
“Aku… aku udah sama orang lain dan nanti aku akan kuliah di Jogja. Maafin aku, aku sayang sama kamu tapi aku ga mau ngecewain ortu aku. Mulai sekarang kita ga akan ketemu lagi. Selamat tinggal…..”
Putri meninggalkan Heri dengan tatapan manis namun sangat menyakitkan. Heri pun segera mengejar Putri namun kuhalangi dia.
“Tunggu Her!!” aku segera keluar dari balik pohon
“Farra? Kamu ada disini? Langkah Heri terhenti dan kini tatapannya tertuju ke arahku
“Aku dengar semua pembicaraan kalian. Udahlah Her kamu ga usah ngarep cinta dia lagi”
“Maksud kamu apa Far, kamu ga tahu gimana rasanya ditinggalin orang yang udah kita sayangi. Aku ga rela dia ninggalin aku cuma karena cowok lain!” wajahnya memerah
“Kamu harus lupain dia, kamu bisa dapet cewek yang lebih baik dari dia. Cinta itu ga harus memiliki dan cinta itu ga bisa dipaksa” inilah kata-kata bijak yang keluar dari ucapanku diiringi dengan tatapan tajam seolah ingin menegarkan batin Heri yang kini mulai menangis.
“Aku….. aku ga mau kayak gini Far. Aku sayang sama dia, cuma dia yang bisa ngertiin aku. Aku ingin terus dekat sama dia seperti waktu kita di Bogor” Heri berjalan kembali ke kursi, wajahnya berusaha tegar menahan air bening yang terbendung dimatanya.
“Tapi kamu harus terima kenyataan ini, dia udah sama orang lain dan mungkin itu udah keputusan orang tuanya. Bukankah cinta itu pengorbanan? Berkorbanlah demi kebahagiaan Putri saat ini” lagi-lagi aku meyakinkan Heri untuk berusaha bangkit dari kesedihannya. Tanganku memegang pundak Heri.
“Tapi kenapa kamu kayak gini sama aku. Ini urusan pribadi aku, kamu ga berhak ikut campur. Pokoknya aku tetep ga rela, ngga!” kemarahan Heri memuncak. Dia membentakku dan mengibaskan lenganku dari pundaknya. Tubuhnya mulai bangkit dan pergi meninggalkanku dengan tanpa hiraunya.
“Her! Heri tunggu!” aku berusaha mengejarnya meski sedikit demi sedikit tubuhku mulai basah karena rintik-rintik hujan turun disertai angin dingin yang merasuk dalam tubuh.
“Aku ga butuh nasihat kamu, jauhi aku Farra!” langkah kaki Heri semakin cepat, hampir dua meter jarak antara aku dan Heri.
“Heri dengerin aku please. Aku ga mau kamu terus-terusan sedih, aku ga mau kamu terus-terusan berharap cinta yang ga mungkin kamu miliki, aku ga rela kamu ga sekolah hanya demi hal seperti ini, aku ga mau kamu terluka karena Putri, aku ga rela kamu dekat sama dia!” dengan spontan kuucapkan semua kata-kata itu dengan lantang.
Hujan terus turun membasahi bumi. Rambutku, pakaianku, sepatuku semua basah. Aku tak kuasa mengejar langkah Heri. Aku menyerah.  Tubuhku mulai runtuh dan aku merunduk menatap rerumputan. Aku tahu aku memang tak sanggup untuk menenangkan dia. Aku hanyalah orang lain yang dekat dengannya melalui ikatan persahabatan. Meski aku sangat ingin memilikinya tapi mungkin ini belum saatnya. Mungkin dia marah sama aku. Aku sudah buat hati dia sakit. “Maafin aku Her, maaf…” rintihku dalam hati. Tanpa terduga sebelumnya ada yang menjulurkan telapak tangan ke arahku. Perlahan aku mulai menatap keatas siapakah orang yang mau membantuku. Dan . . . . .
“Heri…..” lirihku sambil terus memandangi dirinya
“Bangunlah…..”
            Akhirnya aku pun menerima uluran tangannya. Kami segera mencari tempat aman untuk berteduh. Di sebuah warung sederhana, disitu tempatnya. Heri memesan dua teh hangat, sementara itu tubuhku mulai menggigil.
“Minumlah teh hangat ini Far dan pakailah Jaket ini” dia memberi Jaket yang dikenakannya padaku
“Kamu ga apa-apa?” tanyaku meyakinkan bahwa Heri tak lagi marah padaku
“Sudahlah pakai saja….”
“Hmm….”
            Siang berganti sore, sore berganti malam. Beberapa jam kami menunggu hujan reda. Tak ada sepatah kata pun yang terucap dari mulut kami. Heri tampak asik memandangi anak-anak kecil  yang bermain bola sambil hujan-hujanan di tengah lapang taman. Sedangkan aku sendiri hanya terdiam memegangi secangkir teh yang mulai dingin, sedingin sikap kami satu sama lain. Hujan mulai reda, jam menunjukkan pukul 18:30 WIB. Aku dan Heri menuju parkiran untuk segera pulang. Tak ada ucapan yang keluar dari mulut Heri. Hanya senyuman yang ia torehkan. Aku pun membalas senyuman itu.
            Sesampainya dirumah segera kubersihkan tubuhku dan segera kutunaikan shalat. Malam ini aku masih memikirkan kejadian tadi saat bersama Heri. Aku mulai memikirkan kata-kata terakhir yang sempat kuucapkan padanya. Aku tak sengaja mengucapkannya tapi apa makna ucapan itu sebenarnya??
***
            Esok harinya aku berangkat sekolah seperti biasa. Tubuhku mulai membaik karena aku cukup istirahat. Saat dikelas aku tak berani menyapa Heri meski seperti biasanya kami malah akrab. Entah apa yang terjadi dalam diriku, aku merasa canggung terhadapnya.
            Saat istirahat aku pergi ke perpustakaan padahal biasanya aku dan Heri asik makan-makan di kantin. Hufh,,,, aku ingin bicara padanya tapi aku…….. tiba-tiba Brukkkk!!! Ada yang menubrukku dari arah belakang saat aku memilih-milih buku di lemari Perpus. Dia Heri. Aku segera pergi tapi dia mencegahku.
“Farra!”
Terpaksa aku berhenti dan menoleh ke arahnya. Dia menghampiriku dengan senyum manisnya.
“Kamu udah baikan?” tanyanya ramah
“Hhh,,, udah. Hemm makasih ya Jaketnya”
“Sama-sama, maafin aku karena kemarin aku udah bentak kamu” wajahnya merunduk meratapi kesalahannya
“iya ga apa-apa, aku ngerti koq”
“Hemm aku mau ngomong sesuatu sama kamu tapi kamu jangan kaget”
“Memangnya apa?” tanyaku semakin penasaran. Jantungku mulai berdegup kencang, tanganku mulai bergetar memegangi buku. “Apa yang akan dia katakan?” pikirku dalam hati
“Aku sadar selama ini mungkin Putri bukanlah seseorang yang harus aku miliki. Aku memang sayang sama dia tapi aku memang harus rela ditinggal sama dia demi kebahagiaannya dan. . . .” sebelum dia melanjutkan kata-katanya, beberapa siswa yang ada di Perpus mulai merasa tidak nyaman dengan obrolan kami dan akhirnya Ibu Perpus memperingati kami.
“Hei kalian jangan mengobrol di Perpustakaan!” wajah Ibu Perpus tampak geram
“Baik Ibu…” jawab kami bersamaan
Tapi Heri kembali berbicara namun setengah berbisik
“Aku… aku sayang sama kamu, kamu mau jadi pacar aku? Please aku butuh jawaban kamu sekarang” wajahnya, ucapannya, matanya semua tampak serius ke arahku
Aku kaget, jantungku semakin berdegup, aku merasa waktu di dunia ini berhenti sekejap dan Byarrrr!!!!
“Please…..”
Aku pun menjawab…
“Sebenarnya sejak lama aku kenal sama kamu, aku udah nunggu kata-kata itu keluar dari mulut kamu. Aku juga sayang sama kamu dan aku…..” aku mulai mendekatinya dan berbisik ditelinganya
“Aku jatuh cinta sama kamu…..”
Senyum Heri melebar. Kami keluar dari perpustakaan dengan berpegangan tangan. Saat melewati koridor-koridor ruangan kelas, semua siswa bertepuk tangan kepada kami. Kita sih enjoy aja soalnya mereka menganggap kita itu adalah bestfriend tapi nyatanya?????
Akhirnya Kau jatuh cinta padaku Heri!!......

Tidak ada komentar: