SEJARAH GUNUNG PADANG
“Gunung Padang” adalah
nama yang diberikan kepada sebuah situs (tempat peninggalan kebudayaan
purbakala) berupa bangunan punden berundak sehingga menyerupai sebuah
bukit/gunung. Situs Gunung Padang terletak di sebuah kawasan di antara Cianjur
bagian utara dan Cianjur bagian selatan, sekitar 25 km sebelah selatan barat daya
kota Cianjur. Berdasarkan pengukuran GPS, lokasi situs ini berada pada
koordinat 06°59,522’ LS dan 107°03,363 BT pada ketinggian 894 m dpl di dasar
situs. Lokasi dapat ditempuh menggunakan kendaraan bus kecil (tidak dapat
sampai lokasi, 3 km sebelum lokasi harus berhenti), mobil jeep dan sejenisnya
(bukan sedan) sampai lokasi, atau motor sampai lokasi.
Kondisi jalan bervariasi
dari buruk sampai bagus dengan dominan sedang. Dari kota Cianjur, lokasi dapat
ditempuh menuju Sukabumi, kemudian berbelok ke arah jalan menuju Warungkondang
dan Kancana sampai ke Lampegan. Sebelum sampai Lampegan, yang merupakan stasiun
peninggalan Belanda, ada jalan berbelok menuju situs Gunung Padang. Papan
petunjuk jalan lokasi situs cukup membantu. Perjalanan ke arah situs berada di
kawasan perkebunan teh. Secara administratif, situs ini termasuk ke dalam Desa
Karyamukti, Kecamatan Cempaka, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Situs ini ada
dalam pengelolaan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang.
Situs Gunung Padang
merupakan Punden Berundak yang tidak simetris, berbeda dengan punden berundak
simetris seperti Borrobudur, juga berbeda dengan punden berundak simetris
lainnya yang ditemukan di Jawa Barat seperti situs Lebak Sibedug di Banten
Selatan. Sebuah punden berundak tidak simetris menunjukkan bahwa pembangunan
punden ini mementingkan satu arah saja ke mana bagunan ini menghadap.
Situs Gunung Padang terdiri atas lima teras (tingkatan). Dasar
situs terdapat di 06°59,522’ LS , 107°03,363 BT lokasi ketinggian 894 m
dpl (di atas permukaan laut), data setiap teras adalah sebagai berikut:
- teras pertama berada di lokasi 06°59,617’ LS dan 107°03,367 BT pada ketinggian 983 m dpl, arah teras menghadap ke mataangin utara baratlaut (azimut 335° UT),
- teras kedua berada di lokasi 06°59,631’ LS dan 107°03,373 BT pada ketinggian 985 m dpl, arah teras menghadap ke mataangin utara baratlaut (azimut 337° UT),
- teras ketiga berada di lokasi 06°59,652’ LS dan 107°03,381 BT pada ketinggian 986 m dpl, arah teras menghadap ke mataangin utara baratlaut (azimut 335° UT),
- teras keempat berada di lokasi 06°59,658’ LS dan 107°03,380 BT pada ketinggian 987,5 m dpl, arah teras menghadap ke mataangin utarabaratlaut (azimut 330° UT).
- teras kelima berada di lokasi 06°59,666’ LS dan 107°03,383 BT pada ketinggian 989 m dpl, arah teras menghadap ke mataangin utarabaratlaut (azimut 345° UT).
Berdasarkan data di atas,
tinggi punden berundak situs Gunung Padang adalah 95 meter dengan arah utama
teras menuju utara barat laut dengan rata‐rata orientasi (azimut 336,40 ° UT).
Memperhatikan titik lokasi menurut garis lintang pada setiap teras, dapat
dilihat bahwa dari teras 1 ke teras 5 membujur dari utara ke selatan dengan
beda tinggi 6 m dari teras 1 ke teras 5.
Bahan bangunan pembuat
situs adalah batu‐batu besar andesit, andesit basaltik, dan basal berbentuk
tiang‐tiang dengan panjang dominan sekitar satu meter berdiameter dominan 20
cm. Tiang‐tiang batuan ini mempunyai sisi‐sisi membentuk segibanyak dengan
bentuk dominan membentuk tiang batu empat sisi (tetragon) atau lima sisi
(pentagon). Setiap teras mempunyai pola‐pola bangunan batu yang berbeda‐beda
yang ditujukan untuk berbagai fungsi. Teras pertama merupakan teras terluas
dengan jumlah batuan paling banyak, teras kedua berkurang jumlah batunya, teras
ke‐3 sampai ke‐5 merupakan teras‐teras yang jumlah batuannya tidak banyak. Luas
area ini secara keseluruhan dilaporkan sekitar tiga hektare (30.000 m2)dengan
luas total lima teras 3132 m2 sehingga di beberapa publikasi internet dinyatakan
sebagai situs megalitikum terluas di Asia Tenggara.
Ke sebelah utara
baratlaut Gunung Padang terdapat Gunung Gede (2950 m dpl) pada jarak sekitar 25
km, di sebelah tenggara Gunung Gede terdapat puncak‐puncak lain yang membentuk
kelurusan sekitar 330‐340° UT ke arah situs Gunung Padang, yaitu Gunung Kancana
(1233 m dpl) dan Pasir (bukit) Pogor (999 m dpl).
Secara teknis, situs
Gunung Padang pertama kali dilaporkan keberadaannya oleh peneliti kepurbakalaan
zaman Belanda: N.J. Krom, seorang ahli kepurbakaan Hindu di Nusantara.
Laporan pertama tentang
Gunung Padang muncul dalam laporan tahunan Dinas Purbakala Hindia Belanda tahun
1914 (Rapporten van den Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch‐Indie). N.J.
Krom tidak melakukan penelitian mendalam atasnya, hanya menyebutkan bahwa situs
ini diperkirakannya sebagai sebuah kuburan purbakala. Situs ini kemudian
dilaporkan kembali keberadaannya pada tahun 1979 oleh penduduk setempat kepada
penilik kebudayaan dari pemerintah daerah. Sejak itu, situs ini telah diteliti
cukup mendalam meskipun masih menyisakan berbagai kontroversi. Para ahli
purbakala atau yang meminati kepurbakalaan telah melakukan berbagai penelitian
atas situs ini. Sebagian besar hasil penelitiannya tidak bisa diakses dengan
mudah oleh umum, hanya tersimpan sebagai publikasi ilmiah profesional. Beberapa
lembaga yang pernah melakukan penelitian di sini adalah: Direktorat Sejarah dan
Purbakala, Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat, Balai Arkeologi Bandung dan sebuah
lembaga swasta Bandung Fe Institute.
KONTROVERSI SITUS GUNUNG PADANG
Dalam beberapa publikasi
yang terutama beredar di internet, terdapat beberapa kontroversi yang
signifikan atas situs ini, terutama tentang : (1) bahan bangunan pembuat situs
apakah hasil alam atau manusia, dan (2) umur situs ini apakah prasejarah
(sekitar 1500 SM) atau sejarah (abad ke‐15 saat Kerajaan Sunda‐Pajajaran).
·
Kontroversi pertama bisa diyakini bahwa
bahan bangunan pembuat situs ini adalah hasil alam. Para interpreter meyakini
bahwa batu‐batu pembuat situs berasal dari pembekuan magma andesit basaltik dan
lava basaltik yang mendingin di permukaan membentuk struktur kekar‐kekar
(retakan batuan) tiang (columnar jointing). Peta geologi Lembar Cianjur
(Sudjatmiko, 1972, 2003) atau peta geologi Lembar Sindangbarang mengkonfirmasi
hal ini.
Gunung Padang secara geologi merupakan salah satu perbukitan
kompleks aliran lava andesitik dan lava basaltik yang membentuk
punggungan‐punggungan tak beraturan dan puncak‐puncak yang kadang‐kadang curam.
Batuan lava ini berumur Pliosen (5‐2 juta tahun yang lalu). Ketika magma dari
bawah permukaan Bumi sebagai produk letusan gunungapi purba ini mencapai
permukaan dan dikenal dengan nama lava, terjadi pendinginan serentak. Salah
satu bentuk pendinginan serentak ini adalah pembentukan tiang‐tiang batuan lava
andesit dan basal saat pendinginan terjadi dalam skala kecil dan terinci di
seluruh badan lava. Arah tiang‐tiang ini akan tegak lurus terhadap arah aliran
lava. Diperkirakan bahwa Gunung Padang pada 5‐2 juta tahun yang lalu (beberapa
publikasi menyatakannya 2,1 juta tahun) merupakan sebuah punggungan atau bukit
lava yang dibangun oleh lava andesit basaltik dan lava basal yang telah
mengalami pendinginan membentuk tiang‐tiang batuan. Struktur tiang ini akan
mengalami retak‐retak membentuk tiang‐tiang batu dengan panjang dan diameter
tiang batu bervariasi dan setiap tiang dapat menunjukkan sisi‐sisi yang
bervariasi dari 3‐12 sisi, tetapi yang terbanyak adalah 4‐6 sisi sebagai akibat
proses pendinginan skala kecil. Tiang batu andesit dan basal di Gunung Padang
dominan bersisi empat (tetragon) atau lima (pentagon).
Diperkirakan bahwa saat dibangun, para manusia pembangun situs
ini telah menemukan bukit lava dengan banyak tiang‐tiang batu andesit dan basal
yang sebagian tersingkap dan runtuhannya memenuhi dasar bukit dan sekitarnya,
atau sebagian digali dari dalam bukit dalam proses membuatnya menjadi bentuk
berundak‐undak. Puncak bukit dipapas, papasannya dijadikan pengisi bagian
lerengnya agar tidak terlalu curam (seperti proses cut & fill dalam teknik
sipil).
Dapat diyakini bahwa batu‐batu penyusun situs megalitik ini
bukan hasil pemahatan yang dilakukan manusia para pembangun situs ini.
·
Kontroversi kedua adalah masalah umur
pembangunan situs Gunung Padang. Masalah ini kiranya lebih sulit dipecahkan
daripada masalah pertama. Para ahli arkeologi berdasarkan bentuk situs
megalitikum ini dan kesebandingan regional menganggap umur situs ini adalah
sekitar 1500 SM, dibangun oleh manusia‐manusia pendahulu penduduk Sunda di Jawa
Barat. Tradisi‐tradisi megalitikum di seluruh dunia, terutama yang banyak
ditemukan di Inggris berupa stone circles yaitu bangunan‐bangunan megalitikum
yang ditujukan untuk menyembah Dewa Matahari, didirikan pada 4000‐1000 SM.
Pendapat lain adalah ditemukannya ukiran berupa senjata tradisional Sunda
berupa kujang dan tapak harimau pada dua buah batu di situs Gunung Padang
membuat orang berpikir bahwa Prabu Siliwangi, raja Sunda pada abad ke‐15
merupakan pembangun situs ini.
Laporan perjalanan seorang pelancong Sunda, Bujangga Manik,
seorang pangeran dari Kerajaan Sunda pada abad ke‐15, laporannya ditulis dalam
bentuk sajak, ditulis di daun palem, dan kini tersimpan di Museum Bodleian,
Oxford, Inggris kiranya bisa menjadi acuan solusi kontroversi umur situs Gunung
Padang. Diperkirakan laporan tersebut selesai ditulis pada tahun 1511. Dalam
beberapa penggalan sajaknya, di antaranya sang bujangga menulis sebagai berikut
:
“Eta huluna Ci Sokan nimu lemah kabuyutan/ na lemah nalingga
manik/ teherna dek sri maliput/ sermangun nalingga payung/ nyanghareup ka Bahu
Mitra/ ku ngaing geus dibabakan/ dibalay diundak‐undak/ dibalay sakulilingna/
ti handap ku mungkal datar/ sermangun ku mungkal bener/ ti luhur ku batu putih
/ diawuran manik asra/ carenang heuleutheuleutna/wangun tujuh guna aing /
padanan deung pakayuan…”.
Bahasa Sunda kuno di atas mirip penggambarannya dengan kondisi
punden berundak situs Gunung Padang yang juga kebetulan terletak tidak jauh
dari hulu Sungai Cisokan. Sebagai sesama bangsawan dari Kerajaan Sunda tidaklah
mungkin kalau Bujangga Manik tidak mengenal pembangun situs ini kalau memang
Prabu Siliwangi.
Situs Gunung Padang diperkirakan memang situs prasejarah yang
juga pernah dikunjungi oleh beberapa bangsawan Kerajaan Sunda pada abad ke‐15
dan menorehkan lambangnya pada batu‐batu yang ada di situs itu berupa senjata
kujang dan tapak harimau Siliwangi.
Kebudayaan megalitik di Indonesia dominan berkembang pada masa
‘Kebudayaan Dongson’ pada zaman Logam (500 SM) (Sukmono, 1973, 1990). Hal ini
dibuktikan dengan ditemukannya banyak perhiasan dan peralatan dari perunggu
pada artefak‐artefak megalitik seperti kubur batu. Kesulitan penentuan umur
situs Gunung Padang adalah karena tidak/belum ditemukannya artefak‐artefak berupa
manik‐manik atau peralatan terbuat dari perunggu. Penulis melakukan pengamatan
apakah ada peralatan dari logam digunakan untuk membuat situs ini. Pada
bilah‐bilah batu yang dijadikan alat musik, kelihatannya ada jejak penggunaan
logam dalam pembuatan guratan dan lumpang pada bilah batu. Bila ini benar, maka
umur situs ini bisa juga sekitar 500 SM. Atau bahwa situs ini dibangun secara
berkala dalam rentang umur yang panjang bisa saja terjadi, misalnya dari tahun
1500‐500 SM.
credits by Yeppo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar