Rabu, 01 Mei 2013

Biografi Ayah - Saranghaeyo Umma Appa :3



Pria ini bernama lengkap singkat, Taryono. Kelahiran 11 Januari 1964. Dulu aku sempat riang gembira karena tanggal kelahirannya sama dengan tanggal ulang tahun salahsatu stasiun TV swasta. Aku sempat ingin mendaftarkannya kuis pada saat itu, hm. Di usia mudanya dia mengenyam pendidikan Madrasah Ibtidaiyah di salahsatu kawasan tempat tinggalnya, Kandaga, Kecamatan Larangan, Kabupaten Brebes. Dia anak ke lima dari enam bersaudara. Sebenarnya seharusnya anak ke tujuh tetapi dua kakak kandungnya meninggal pada saat kecil. Ya, dia dibesarkan oleh sebuah keluarga sederhana. Mata pencaharian saat itu adalah dari hasil pertanian. Diwaktu masa kecilnya tak jarang dia membantu orangtuanya dalam bekerja, seperti pergi ke sawah dan menggembala kerbau milik kedua orangtuanya. Dialah ayahku.

Ayah dibesarkan dengan konsep yang sederhana. Bagi keluarga ayah kesederhanaan bukan berarti miskin dan pelit. Keluarga ayah tetap membesarkan anak-anaknya dengan pendidikan seperti pada umumnya. Ya, dari semua anggota saudara ayah, ayah yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi, S1. Ayah menjalani masa sekolahnya dengan penuh perjuangan. Ketika usia SMA, ayah mesantren di Kediri selama beberapa tahun. Kedua orangtua ayah memang ingin anaknya agar mengerti agama dan mandiri. Ayahku bisa dibilang anak yang paling patuh terhadap kedua orangtuanya. Sewaktu menjalani masa-masa mesantrennya tak jarang ayah mengeluh soal keuangan yang selalu menipis. Kebutuhan yang tak terduga kadang tidak diperhitungkan sehingga ayah kadang belum bisa mengatur keuangannya. Tetapi ayah tak berani meminta uang tambahan terhadap orangtuanya jika memang tidak terlalu mendesak. Ayah rela menjadi kuli cuci piring, cuci baju temannya hanya agar bisa ditraktir makan. Ayah juga pernah menjadi kuli menimba air di sumur, pantas saja ayah memiliki badan yang besar, hehe. Orangtua ayah sebenarnya tidak pernah menginginkan ayah seperti itu. Mereka mampu memberi apapun pada ayah tetapi memang ada motif lain mengapa orangtua ayah seperti itu terhadap ayah. Konteksnya adalah sederhana bukan berarti pelit, ok.

Beberapa tahun lamanya akhirnya ayah kembali. Perjalanan selama mesantren tentu meninggalkan banyak kesan tersendiri bagi ayah. Teman-teman yang solid, guru-guru yang memiliki karakter berbeda-beda, pengalaman-pengalaman yang menarik, semua ayah dapatkan disana.
Singkat cerita ayah melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi yaitu kuliah. Ayah memberanikan diri untuk kembali hidup dalam kemandiriannya. Bagaimana tidak, kuliah bagi kebanyakan orang-orang yang tinggal didesa tentu bukanlah hal yang menarik untuk dibahas. Faktor lingkungan pun kadang tak bersahabat. Tetapi orangtua ayah lah yang memberi arahan agar bagaimanapun pendidikan adalah yang terdepan. Orangtua ayah, merekalah kakek dan nenekku tidak ingin anaknya hidup monoton. Mereka cukup adil dalam hal ini. Maksudku, mereka memberikan kesempatan bagi semua anak-anaknya untuk melanjutkan sekolah yang lebih tinggi, tetapi kesempatan hanya berada ditangan ayahku saat itu. Sudah kukatakan, ayah adalah anak yang penurut meski yang lain pun sama-sama baik.
Ayah menjalani kehidupannya sebagai mahasiswa di salahsatu Perguruan Tinggi Negeri di Bandung. Institut Agama Islam Negeri Sunan Gunung Djati nama Perguruan Tinggi tersebut. Ayah mengambil jurusan tarbiyah (keguruan) Ilmu Pengetahuan Sosial. Tak henti-hentinya ayah berjuang. Semakin tinggi pohon semakin pula angin yang menerpanya. Dunia ini luas bukan?. Ayah mengalami masa-masa perpindahannya dari desa ke kota. Menakjubkan!.
Oh ya, satu hal yang menarik dari ayah adalah dia selalu memegang janjinya, janji untuk kedua orangtuanya kelak dia akan sukses. Ayah selalu memegang perkataanya. Kuliah di kota besar mungkin akan ada banyak godaanya. Tetapi ayah selalu berusaha bahwa dirinya ingin bersungguh-sungguh dalam belajar, kelak dia akan kembali dengan membawa gelar. Bukankah itu pemikiran sederhana yang ada dibenak kakek dan nenekku pada saat itu?. Sarjana.
Bukan hal yang mudah dalam soal mengenyam pendidikan yang satu ini.  Tidak sedikit teman-teman ayah yang lulus tidak tepat pada waktunya. Ayah adalah salahsatu mahasiswa yang lulus lebih cepat dibanding teman-teman dikelasnya. Ayah is the best. Tidak dapat diungkapkan betapa bahagianya orangtua ayah ketika mengantar ayah untuk diwisuda. Gembira, ya sangat gembira. Ayah lulus tepat waktu dan kembali dengan membawa gelar Sarjana.
Setiba dirumah bukan berarti kesuksesan langsung datang menghampiri ayah seperti halnya manusia yang langsung makan jika dia merasa lapar. Ayah menganggur dalam beberapa waktu. Karena kehidupan didesa memang monoton pertanian, ayah kembali menekuni pekerjaan kedua orangtuanya ya meskipun ada aktivitas lain yang berhubungan dengan bidang kependidikannya. Setahun setelahnya, orangtua ayah merasa ingin memiliki menantu. Ayah sudah cukup umur untuk mendapatkan pasangan hidup. Singkat cerita ayah dipertemukan dengan seorang gadis jelita lulusan SMA yang berasal dari desa seberang. Gadis itu adalah ibuku. Kedua orangtua ibu dan ayahku yang mempertemukan mereka. Karena memang sudah jodoh mereka pun dipertemukan di pelaminan. Sebenarnya mungkin ayah sudah memiliki kriteria tersendiri dalam mencari pasangan hidupnya tetapi karena ini permintaan kedua orangtuanya maka ayah sepakat untuk melamar ibuku, dan akhirnya diterima. Alhamdulillah. Pernikahan berlangsung pada awal tahun 1991 dengan konsep yang meriah. Katanya sih, kedua kakek dan nenekku ini adalah tokoh besar dikampungnya masing-masing.
Menikah. Mereka tinggal dirumah orangtua ibuku karena orangtua ibuku tidak ingin ditinggal jauh oleh ibu. Ya, ayah akhirnya mengalah. Tetapi seiring berjalannya waktu, ayah dan ibu akhirnya memiliki rumah sendiri. Meskipun masih dibilang dekat jarak dengan rumah orangtua ibu, setidaknya ada kebahagiaan tersendiri bagi mereka berdua jika memiliki rumah sendiri. Ayah masih dalam pekerjaan monotonnya yaitu petani. Ayah banyak berjuang saat itu. Karena ayah ikut membantu dalam mengurus pertanian orangtua ibu. Kadang nasib baik tak selalu berpihak pada mereka. Adakalanya mereka mengalami masa-masa sulit seperti gagal panen, dan sebagainya.
6 Mei 1992 aku lahir ditengah-tengah mereka. Ya, aku memang anak pertama. Tentu aku dibesarkan lebih banyak ditengah-tengah orangtua ibu dibanding orangtua ayah. Orangtua ibuku sangat menyayangiku, pun tak terkecuali orangtua ayah. Hanya saja aku memang lebih dekat dengan orangtua ibu. Kehadiranku bukan berarti meringankan beban ayah pada saat itu. Memiliki buah hati memang anugerah terindah, tetapi beban hidup pun akan menambah pula. Kesibukan ayahku dalam bekerja, belum ibu yang selalu membantu orangtuanya, menyebabkanku kadang-kadang menjadi sebuah mainan bergerak yang terabaikan, hehe.
Pada saat itu, ketika aku berusia empat tahun, ayah memutuskan ingin hijrah. Hijrah ke tempat yang bisa membantunya dalam mengembangkan keilmuwannya sebagai lulusan pendidik. Berada ditengah-tengah keluarga bermatapencaharian agraris bukan berarti tidak bahagia tetapi pada saat itu ayah berfikir agar gelar yang telah didapatkannya bisa berguna. Ayah memutuskan untuk hijrah ke suatu kota dimana ada saudara ayah yang telah sukses disana. Cianjur tepatnya. Jarak Brebes ke Cianjur hanya selama delapan jam perjalanan. Ayah mengikuti jejak saudaranya itu, meskipun saudara yang entah darimana hubungan kekerabatannya.



Follow @sima_alkhazini
Hastag :
|mari menulis


Tidak ada komentar: