Pria ini bernama lengkap singkat, Taryono. Kelahiran 11 Januari 1964. Dulu aku sempat riang gembira karena tanggal kelahirannya sama dengan tanggal ulang tahun salahsatu stasiun TV swasta. Aku sempat ingin mendaftarkannya kuis pada saat itu, hm. Di usia mudanya dia mengenyam pendidikan Madrasah Ibtidaiyah di salahsatu kawasan tempat tinggalnya, Kandaga, Kecamatan Larangan, Kabupaten Brebes. Dia anak ke lima dari enam bersaudara. Sebenarnya seharusnya anak ke tujuh tetapi dua kakak kandungnya meninggal pada saat kecil. Ya, dia dibesarkan oleh sebuah keluarga sederhana. Mata pencaharian saat itu adalah dari hasil pertanian. Diwaktu masa kecilnya tak jarang dia membantu orangtuanya dalam bekerja, seperti pergi ke sawah dan menggembala kerbau milik kedua orangtuanya. Dialah ayahku.
Ayah dibesarkan dengan konsep yang sederhana. Bagi keluarga ayah
kesederhanaan bukan berarti miskin dan pelit. Keluarga ayah tetap membesarkan
anak-anaknya dengan pendidikan seperti pada umumnya. Ya, dari semua anggota
saudara ayah, ayah yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi, S1. Ayah
menjalani masa sekolahnya dengan penuh perjuangan. Ketika usia SMA, ayah
mesantren di Kediri selama beberapa tahun. Kedua orangtua ayah memang ingin
anaknya agar mengerti agama dan mandiri. Ayahku bisa dibilang anak yang paling
patuh terhadap kedua orangtuanya. Sewaktu menjalani masa-masa mesantrennya tak
jarang ayah mengeluh soal keuangan yang selalu menipis. Kebutuhan yang tak
terduga kadang tidak diperhitungkan sehingga ayah kadang belum bisa mengatur
keuangannya. Tetapi ayah tak berani meminta uang tambahan terhadap orangtuanya
jika memang tidak terlalu mendesak. Ayah rela menjadi kuli cuci piring, cuci
baju temannya hanya agar bisa ditraktir makan. Ayah juga pernah menjadi kuli
menimba air di sumur, pantas saja ayah memiliki badan yang besar, hehe.
Orangtua ayah sebenarnya tidak pernah menginginkan ayah seperti itu. Mereka
mampu memberi apapun pada ayah tetapi memang ada motif lain mengapa orangtua
ayah seperti itu terhadap ayah. Konteksnya adalah sederhana bukan berarti
pelit, ok.
Beberapa tahun lamanya akhirnya ayah kembali. Perjalanan selama mesantren
tentu meninggalkan banyak kesan tersendiri bagi ayah. Teman-teman yang solid,
guru-guru yang memiliki karakter berbeda-beda, pengalaman-pengalaman yang
menarik, semua ayah dapatkan disana.
Singkat cerita ayah melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi
yaitu kuliah. Ayah memberanikan diri untuk kembali hidup dalam kemandiriannya.
Bagaimana tidak, kuliah bagi kebanyakan orang-orang yang tinggal didesa tentu
bukanlah hal yang menarik untuk dibahas. Faktor lingkungan pun kadang tak
bersahabat. Tetapi orangtua ayah lah yang memberi arahan agar bagaimanapun
pendidikan adalah yang terdepan. Orangtua ayah, merekalah kakek dan nenekku
tidak ingin anaknya hidup monoton. Mereka cukup adil dalam hal ini. Maksudku,
mereka memberikan kesempatan bagi semua anak-anaknya untuk melanjutkan sekolah
yang lebih tinggi, tetapi kesempatan hanya berada ditangan ayahku saat itu.
Sudah kukatakan, ayah adalah anak yang penurut meski yang lain pun sama-sama
baik.
Ayah menjalani kehidupannya sebagai mahasiswa di salahsatu Perguruan Tinggi
Negeri di Bandung. Institut Agama Islam Negeri Sunan Gunung Djati nama
Perguruan Tinggi tersebut. Ayah mengambil jurusan tarbiyah (keguruan) Ilmu
Pengetahuan Sosial. Tak henti-hentinya ayah berjuang. Semakin tinggi pohon
semakin pula angin yang menerpanya. Dunia ini luas bukan?. Ayah mengalami
masa-masa perpindahannya dari desa ke kota. Menakjubkan!.
Oh ya, satu hal yang menarik dari ayah adalah dia selalu memegang janjinya,
janji untuk kedua orangtuanya kelak dia akan sukses. Ayah selalu memegang
perkataanya. Kuliah di kota besar mungkin akan ada banyak godaanya. Tetapi ayah
selalu berusaha bahwa dirinya ingin bersungguh-sungguh dalam belajar, kelak dia
akan kembali dengan membawa gelar. Bukankah itu pemikiran sederhana yang ada
dibenak kakek dan nenekku pada saat itu?. Sarjana.
Bukan hal yang mudah dalam soal mengenyam pendidikan yang satu ini. Tidak sedikit teman-teman ayah yang lulus tidak
tepat pada waktunya. Ayah adalah salahsatu mahasiswa yang lulus lebih cepat
dibanding teman-teman dikelasnya. Ayah is
the best. Tidak dapat diungkapkan betapa bahagianya orangtua ayah ketika
mengantar ayah untuk diwisuda. Gembira, ya sangat gembira. Ayah lulus tepat
waktu dan kembali dengan membawa gelar Sarjana.
Setiba dirumah bukan berarti kesuksesan langsung datang menghampiri ayah
seperti halnya manusia yang langsung makan jika dia merasa lapar. Ayah
menganggur dalam beberapa waktu. Karena kehidupan didesa memang monoton
pertanian, ayah kembali menekuni pekerjaan kedua orangtuanya ya meskipun ada
aktivitas lain yang berhubungan dengan bidang kependidikannya. Setahun
setelahnya, orangtua ayah merasa ingin memiliki menantu. Ayah sudah cukup umur
untuk mendapatkan pasangan hidup. Singkat cerita ayah dipertemukan dengan
seorang gadis jelita lulusan SMA yang berasal dari desa seberang. Gadis itu
adalah ibuku. Kedua orangtua ibu dan ayahku yang mempertemukan mereka. Karena
memang sudah jodoh mereka pun dipertemukan di pelaminan. Sebenarnya mungkin
ayah sudah memiliki kriteria tersendiri dalam mencari pasangan hidupnya tetapi
karena ini permintaan kedua orangtuanya maka ayah sepakat untuk melamar ibuku,
dan akhirnya diterima. Alhamdulillah. Pernikahan berlangsung pada awal tahun
1991 dengan konsep yang meriah. Katanya sih, kedua kakek dan nenekku ini adalah
tokoh besar dikampungnya masing-masing.
Menikah. Mereka tinggal dirumah orangtua ibuku karena orangtua ibuku tidak
ingin ditinggal jauh oleh ibu. Ya, ayah akhirnya mengalah. Tetapi seiring
berjalannya waktu, ayah dan ibu akhirnya memiliki rumah sendiri. Meskipun masih
dibilang dekat jarak dengan rumah orangtua ibu, setidaknya ada kebahagiaan
tersendiri bagi mereka berdua jika memiliki rumah sendiri. Ayah masih dalam
pekerjaan monotonnya yaitu petani. Ayah banyak berjuang saat itu. Karena ayah
ikut membantu dalam mengurus pertanian orangtua ibu. Kadang nasib baik tak
selalu berpihak pada mereka. Adakalanya mereka mengalami masa-masa sulit
seperti gagal panen, dan sebagainya.
6 Mei 1992 aku lahir ditengah-tengah mereka. Ya, aku memang anak pertama.
Tentu aku dibesarkan lebih banyak ditengah-tengah orangtua ibu dibanding
orangtua ayah. Orangtua ibuku sangat menyayangiku, pun tak terkecuali orangtua
ayah. Hanya saja aku memang lebih dekat dengan orangtua ibu. Kehadiranku bukan
berarti meringankan beban ayah pada saat itu. Memiliki buah hati memang
anugerah terindah, tetapi beban hidup pun akan menambah pula. Kesibukan ayahku
dalam bekerja, belum ibu yang selalu membantu orangtuanya, menyebabkanku
kadang-kadang menjadi sebuah mainan bergerak yang terabaikan, hehe.
Pada saat itu, ketika aku berusia empat tahun, ayah memutuskan ingin
hijrah. Hijrah ke tempat yang bisa membantunya dalam mengembangkan keilmuwannya
sebagai lulusan pendidik. Berada ditengah-tengah keluarga bermatapencaharian
agraris bukan berarti tidak bahagia tetapi pada saat itu ayah berfikir agar
gelar yang telah didapatkannya bisa berguna. Ayah memutuskan untuk hijrah ke
suatu kota dimana ada saudara ayah yang telah sukses disana. Cianjur tepatnya.
Jarak Brebes ke Cianjur hanya selama delapan jam perjalanan. Ayah mengikuti
jejak saudaranya itu, meskipun saudara yang entah darimana hubungan
kekerabatannya.
Follow @sima_alkhazini
Hastag :
|mari menulis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar